MUSTIKA RANTO GULO : PENELITIAN “EFEK PENERAPAN UNDANG-UNDANG INFORMASI & TRANSAKSI ELEKTRONIK (UU ITE) TERHADAP PENINGKATAN PENYALAHGUNAAN MEDIA INTERNET”

PENELITIAN ILMIAH

“EFEK PENERAPAN UNDANG-UNDANG INFORMASI & TRANSAKSI  ELEKTRONIK (UU ITE) TERHADAP PENINGKATAN PENYALAHGUNAAN MEDIA INTERNET”

OLEH

IR. MUSTIKA RANTO GULO

NIRM :55211110087

DOSEN PEMBIMBING

___________________________________

 

UNIVERSITAS MERCU BUANA

PROGRAM PASCASARJANA

PROGRAM MAGISTER ILMU KOMUNIKASI

2011

_________________________________

  ABSTRAK

Infrastruktur Media Internet semakin pesat, sangat memadai, dan konten medianya sangat terbuka. Fenomena persaingan melalui media internet yang disebut dengan dunia maya ini didukung oleh teknologi yang berkembang pesat, keadaan perekonomian yang bertumbuh dengan baik, serta cara berpikir semakin kreatif.

Perubahan pola pikir dan perilaku dipengaruhi oleh media internet yang sangat terbuka. Cara menyampaikan pesan bahkan memesan barang dan hampir seluruh kegiatan bisnis sudah memakai fasilitas media internet. Namun tidak selamanya berguna ke arah positif akan tetapi kejahatan juga semakin meningkat.

Penyalahgunaan internet di Indonesia masih tinggi dan menduduki peringkat kedua setelah Ukraina di seluruh dunia. Bentuk kejahatan sangat beragam sehingga Pemerintah mengeluarkan UU ITE. Internet yang seharusnya digunakan untuk hal-hal yang baik bagi kehidupan, misalnya mencari dan mengakses suatu informasi ilmu pengetahuan, tetapi tidaklah sedikit masyarakat menyalahgunakannya untuk mengakses situs-situs porno.

Lembaga Survey independent mengungkapkan bahwa dari 24,5 juta pengakses media internet, terdapat sekitar 54% berusia 15-20 tahun dan lebih dari 90% di antaranya pernah masuk situs porno.

Jumlah kasus penipuan melalui media internet akses menukik tajam sejak tahun 2003 – 2010 mencapai 16.000 kasus yang terdata. Berdasarkan data tersebut, terungkap bahwa pengakses situs-situs porno dan penipuan kebanyakan adalah masyarakat awam yang disebut para pemula dalam pengetahuan terhadap fungsi dan manfaat media internet akses. Tentu para pelajar SMA dan mahasiswalah yang menjadi korban utama dari pengaruh kerusakkan moral karena situs pornografi. Jika hal ini dibiarkan begitu saja maka dapat merusak moral masyarakat, terutama para generasi muda. Dengan diberlakukannya UU Informasi dan Transaksi Elektronik ( ITE ) mulai 25 Maret 2008, seharusnya membuat masyarakat berpikir dua kali bila ingin masuk situs-situs porno.

Fathul Wahid ST MSc, salah satu Dekan Fakultas Teknologi Industri (FTI) UII (Suara Merdeka, 10 April 2008), mengemukakan bahwa Yogyakarta dan Semarang menduduki peringkat pertama yang memanfaatkan jasa pelayanan untuk menemukan segala sesuatu yang berkaitan dengan kata sex dan porno.
Situs-situs porno dapat diakses kapan, dimana, dan oleh siapa saja. Bagi seorang remaja/pelajar yang di rumahnya tersedia komputer atau laptop yang sudah terkoneksi dengan internet, mempunyai peluang atau keinginan yang lebih besar untuk mengakses situs-situs porno tersebut. Apalagi jika mereka tidak mendapat pengawasan dan perhatian dari orang tuanya.

Dari penelitian baru-baru ini, ditemukan bukti bahwa jika seseorang sering mengakses situs-situs porno akan mengakibatkan komputernya rawan terkena virus. Jika computer mudah terkena virus maka beberapa data penting yang disimpan dalam computer bisa hilang. Lantas dalam hal ini, pihak mana yang mengalami kerugian paling besar? Tentu adalah mereka para pengakses situs-situs porno.

Pada saat Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Prof Dr Ir Mohammad Nuh DEA melakukan langkah tegas dengan memblokir situs-situs berbahaya dan menerapkan pengawasan transaksi elektronik ini dilandasi akal sehat yang universal yang bertujuan melindungi masyarakat. Pemblokiran dilakukan agar akses ke situs-situs yang tidak memberikan pendidikan dapat dicegah. Dengan pemblokiran ini diharapkan masyarakat dapat mengakses internet dengan mudah sebagai bagian dari membangun masyarakat berbasis informasi tanpa adanya penyalahgunaan.
Upaya Pemerintah Indonesia, dinilai sangat merugikan pihak pengelola situs porno. Namun UU ITE dijadikan payung atas pelaksanaan memblokir situs-situs porno dengan menggunakan 3 level yaitu, grassroot, level jaringan terbatas, dan level jaringan provider.

Pada level grassroot (akar rumput) masyarakat diharapkan meningkatkan dan menumbuhkan kesadaran tentang self-censoring atau self-filtering yaitu kemampuan mandiri dalam memilih situs yang baik dan layak. Level jaringan terbatas Depkominfo menjalin kerja sama dengan instansi dan lembaga pendidikan. Dan yang terakhir level jaringan provider dimana Depkominfo bekerja sama dengan Internet service provider (ISP) untuk memblokir situs-situs porno.

Langkah pemerintah dalam mengantisipasi situs porno ditanggapi oleh berbagai masyarakat. Mereka ada yang menyatakan setuju namun adapula yang menyatakan sebaliknya. Bagi orang yang tahu betapa merusaknya situs-situs porno bagi generasi muda tentu akan sangat mendukung rencana pemerintah tersebut. Sebaliknya orang yang suka sekali mengakses situs-situs porno pasti tidak akan mendukung rencana pemerintah karena mereka tidak dapat lagi mengakses situs-situs porno.

Pemblokiran terhadap situs-situs porno ternyata juga mempunyai dampak terhadap situs-situs yang lain. Beberapa situs yang penting, seperti situs pendidikan juga bisa ikut terblokir. Tentu saja hal ini sangat merugikan karena dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk membuat situs yang baru. Sedangkan bagi seorang pelajar yang lebih suka mencari bahan-bahan pelajaran lewat internet harus bersedia bersabar menunggu sampai situs yang baru itu selesai.

Sejauhmana efek penyalahgunaan media internet ini terhadap antisipasi pemerintah melalui UU ITE akan diteliti dan akan dijadikan sumber informasi kelak kepada pemerintah. Sebagai kewajiban atas tugas pasca sarjana Magister Ilmu komunikasi, berharap agar hasil penelitian ini turut ambil bagian dalam menambah perbendaharaan informasi kepada masyarakat dan pemerintah.

Penelitian         : Kwantitatif

Judul       : “EFEK PENYALAHGUNAAN MEDIA INTERNET TERHADAP PENERAPAN UNDANG-UNDANG INFORMASI & TRANSAKSI ELEKTRONIK (UU ITE)

Latar Belakang Masalah : Media Internet yang terbuka bertujuan untuk memajukan kehidupan manusia, namun tingkat kejahatan di dalamnya sangat tinggi. Penyalahgunaan terhadap media internet ini telah meresahkan masyarakat terutama di Indonesia yang masih tergolong baru mengenal dunia maya ini. Pemerintah mengeluarkan UNDANG-UNDANG INFORMASI & TRANSAKSI ELEKTRONIK yang disebut UU ITE yang bertujuan melindungi masyarakat dari kejahatan di media internet akses. Sejauhmana efek UU ITE terhadap kejahatan Media Internet itu perlu diteliti oleh para akadmisi, untuk melihat apakah UU ITE itu telah tepat guna dalam mensosialisasikannya kepada masyarakat atau tidak.

MASALAH PENELITIAN :

Tujuan Penelitian :

  1. Dengan adanya undang-undang ITE, apakah ada efek jera pada penyalahgunaan internet akses?
  2. Mengetahui indikasi dan gejala perubahan sosial dalam pola komunikasi masyarakat akibat media internet
  3. Mengetahui efek atau dampak positif dan negatif dari penggunaan media internet sebagai alat komunikasi
  4. Mengetahui peran UU ITE sebagai produk pemerintah dalam melindungi masyarakat dari kejahatan dan menjaga etika penggunaan media internet sebagai alat komunikasi.

Tinjauan Pustaka :

Teori dan Kesimpulan sementara : Adanya korban dari masyarakat sebagai indikasi adanya efek penyalahgunaan media internet. Upaya Pemerintah tentu diuji apakah bener-bener sudah berperan aktif dalam menerapkan UU ITE agar masyarakat bisa terlindungi.

____________________

DAFTAR  ISI

 

 PRA PENELITIAN

DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN

1.1.      Latar  Belakang

1.2.      Pokok-Pokok  Pembahasan

1.3.      Tujuan  Penelitian

BAB II. TINJAUAN  TEORITIS

2.1. Definisi-definisi

2.2. Hipotesa-Hipotesa

2.3. Modus Penyalahgunaan Media Internet ?

2.4. Korelasi sebab akibat UU ITE terhadap kejahatan Media Internet

2.5. Proses Sosialisasi Bahaya Penyalahgunaan Media Internet

2.6. Komunikasi Media Internet

BAB III. STUDY  KASUS DAN PEMBAHASAN

BAB IV. KESIMPULAN

DAFTAR  PUSTAKA

LAMPIRAN

UUITE 2008 Klik disini

5 respons untuk ‘MUSTIKA RANTO GULO : PENELITIAN “EFEK PENERAPAN UNDANG-UNDANG INFORMASI & TRANSAKSI ELEKTRONIK (UU ITE) TERHADAP PENINGKATAN PENYALAHGUNAAN MEDIA INTERNET”

  1. TEORI EFEK KOMUNIKASI
    Ada tiga dimensi efek komunikasi massa, yaitu: kognitif, afektif, dan konatif. Efek kognitif meliputi peningkatan kesadaran, belajar, dan tambahan pengetahuan. Efek efektif berhubungan dengan emosi, perasaan, dan attitude (sikap). Sedangkan efek konatif berhubungan dengan perilaku dan niat untuyk melakukan sesuatu menurut cara tertentu.[1]

    1. Efek Kognitif
    Efek kognitif adalah akibat yang timbul pada diri komunikan yang sifatnya informative bagi dirinya. Dalam efek kognitif ini akan dibahas tentang bagaimana media massa dapat membantu khalayak dalam mempelajari informasi yang bermanfaat dan mengembangkan keterampilan kognitif. Melalui media massa, kita memperoleh informasi tentang benda, orang atau tempat yang belum pernah kita kunjungi secara langsung.[2]
    Seseorang mendapatkan informasi dari televisi, bahwa “Robot Gedek” mampu melakukan sodomi dengan anak laki-laki di bawah umur. Penonton televisi, yang asalnya tidak tahu menjadi tahu tentang peristiwa tersebut. Di sini pesan yang disampaikan oleh komunikator ditujukan kepada pikiran komunikan. Dengan kata lain, tujuan komunikator hanya berkisar pada upaya untuk memberitahu saja.
    Menurut Mc. Luhan[3], media massa adalah perpanjangan alat indera kita (sense extention theory; teori perpanjangan alat indera)[4]. Dengan media massa kita memperoleh informasi tentang benda, orang atau tempat yang belum pernah kita lihat atau belum pernah kita kunjungi secara langsung. Realitas yang ditampilkan oleh media massa adalah relaitas yang sudah diseleksi. Kita cenderung memperoleh informasi tersebut semata-mata berdasarkan pada apa yang dilaporkan media massa. Televisi sering menyajikan adegan kekerasan, penonton televisi cenderung memandang dunia ini lebih keras, lebih tidak aman dan lebih mengerikan.
    Karena media massa melaporkan dunia nyata secara selektif, maka sudah tentu media massa akan mempengaruhi pembentukan citra tentang lingkungan sosial yang bias dan timpang. Oleh karena itu, muncullah apa yang disebut stereotip, yaitu gambaran umum tentang individu, kelompok, profesi atau masyarakat yang tidak berubah-ubah, bersifat klise dan seringkali timpang dan tidak benar. Sebagai contoh, dalam film India, wanita sering ditampilkan sebagai makhluk yang cengeng, senang kemewahan dan seringkali cerewet.[5] Penampilan seperti itu, bila dilakukan terus menerus, akan menciptakan stereotipe pada diri khalayak Komunikasi Massa tentang orang, objek atau lembaga. Di sini sudah mulai terasa bahayanya media massa. Pengaruh media massa lebih kuat lagi, karena pada masyarakat modern orang memperoleh banyak informasi tentang dunia dari media massa.
    Sementara itu, citra terhadap seseorang, misalnya, akan terbentuk (pula) oleh peran agenda setting (penentuan/pengaturan agenda). Teori ini dimulai dengan suatu asumsi bahwa media massa menyaring berita, artikel, atau tulisan yang akan disiarkannya.[6] Biasanya, surat kabar mengatur berita mana yang lebih diprioritaskan. Ini adalah rencana mereka yang dipengaruhi suasana yang sedang hangat berlangsung. Sebagai contoh, bila satu setengah halaman di Media Indonesia memberitakan pelaksanaan Rapat Pimpinan Nasional Partai Golkar, berarti wartawan dan pihak redaksi harian itu sedang mengatur kita untuk mencitrakan sebuah informasi penting. Sebaliknya bila di halaman selanjutnya di harian yang sama, terdapat berita kunjungan Megawati Soekarno Putri ke beberapa daerah, diletakkan di pojok kiri paling bawah, dan itu pun beritanya hanya terdiri dari tiga paragraf. Berarti, ini adalah agenda setting dari media tersebut bahwa berita ini seakan tidak penting. Mau tidak mau, pencitraan dan sumber informasi kita dipengaruhi agenda setting.
    Media massa tidak memberikan efek kognitif semata, namun ia memberikan manfaat yang dikehendaki masyarakat. Inilah efek prososial. Bila televisi menyebabkan kita lebih mengerti bahasa Indonesia yang baik dan benar, televisi telah menimbulkan efek prososial kognitif. Bila majalah menyajikan penderitaan rakyat miskin di pedesaan, dan hati kita tergerak untuk menolong mereka, media massa telah menghasilkan efek prososial afektif. Bila surat kabar membuka dompet bencana alam, menghimbau kita untuk menyumbang, lalu kita mengirimkan wesel pos (atau, sekarang dengan cara transfer via rekening bank) ke surat kabar, maka terjadilah efek prososial behavioral.[7]

    2. Efek Afektif
    Efek ini kadarnya lebih tinggi daripada Efek Kognitif. Tujuan dari komunikasi massa bukan hanya sekedar memberitahu kepada khalayak agar menjadi tahu tentang sesuatu, tetapi lebih dari itu, setelah mengetahui informasi yang diterimanya, khalayak diharapkan dapat merasakannya[8]. Sebagai contoh, setelah kita mendengar atau membaca informasi artis kawakan Roy Marten dipenjara karena kasus penyalah-gunaan narkoba, maka dalam diri kita akan muncul perasaan jengkel, iba, kasihan, atau bisa jadi, senang. Perasaan sebel, jengkel atau marah daat diartikan sebagai perasaan kesal terhadap perbuatan Roy Marten. Sedangkan perasaan senang adalah perasaan lega dari para pembenci artis dan kehidupan hura-hura yang senang atas tertangkapnya para public figure yang cenderung hidup hura-hura. Adapun rasa iba atau kasihan dapat juga diartikan sebagai keheranan khalayak mengapa dia melakukan perbuatan tersebut.
    Berikut ini faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya efek afektif dari komunikasi massa.
    1. Suasana emosional
    Dari contoh-contoh di atas dapat disimpulkan bahwa respons kita terhadap sebuah film, iklan, ataupun sebuah informasi, akan dipengaruhi oleh suasana emosional kita. Film sedih akan sangat mengharukan apabila kita menontonnya dalam keadaan sedang mengalami kekecewaan. Adegan-adegan lucu akan menyebabkan kita tertawa terbahak-bahak bila kita menontonnya setelah mendapat keuntungan yang tidak disangka-sangka.
    1. Skema kognitif
    Skema kognitif merupakan naskah yang ada dalam pikiran kita yang menjelaskan tentang alur eristiwa. Kita tahu bahwa dalam sebuah film action, yang mempunyai lakon atau aktor/aktris yang sering muncul, pada akahirnya akan menang. Oleh karena itu kita tidak terlalu cemas ketika sang pahlawan jatuh dari jurang. Kita menduga, asti akan tertolong juga.
    c. Situasi terpaan (setting of exposure)
    Kita akan sangat ketakutan menonton film Suster Ngesot, misalnya, atau film horror lainnya, bila kita menontontonnya sendirian di rumah tua, ketika hujan labt, dan tiang-tiang rumah berderik. Beberpa penelitian menunjukkan bahwa anak-anak lebih ketakutan menonton televisi dalam keadaan sendirian atau di tempat gelap. Begitu pula reaksi orang lain pada saat menonton akan mempengaruhi emosi kita pada waktu memberikan respons.
    1. Faktor predisposisi individual
    Faktor ini menunjukkan sejauh mana orang merasa terlibat dengan tokoh yang ditampilkan dalam media massa. Dengan identifikasi penontotn, pembaca, atau pendengar, menempatkan dirinya dalam posisi tokoh. Ia merasakan apa yang dirasakan toko. Karena itu, ketika tokoh identifikasi (disebut identifikan) itu kalah, ia juga kecewa; ketika ientifikan berhasil, ia gembira.

    3. Efek Behavioral
    Efek behavioral merupakan akibat yang timbul pada diri khalayak dalam bentuk perilaku, tindakan atau kegiatan. Adegan kekerasan dalam televisi atau film akan menyebabkan orang menjadi beringas. Program acara memasak bersama Rudi Khaeruddin, misalnya, akan menyebabkan para ibu rumah tangga mengikuti resep-resep baru. Bahkan, kita pernah mendengar kabar seorang anak sekolah dasar yang mencontoh adegan gulat dari acara SmackDown yang mengakibatkan satu orang tewas akibat adegan gulat tersebut. Namun, dari semua informasi dari berbagai media tersebut tidak mempunyai efek yang sama.
    Radio, televisi atau film di berbagai negara telah digunakan sebagai media pendidikan. Sebagian laporan telah menunjukkan manfaat nyata dari siaran radio, televisi dan pemutaran film.[9] Sebagian lagi melaporkan kegagalan. Misalnya, ketika terdapat tayangan kriminal pada program “Buser” di SCTV menayangkan informasi: anak SD yang melakukan bunuh diri karena tidak diberi jajan oleh orang tuanya. Sikap yang diharapkan dari berita kriminal itu ialah, agar orang tua tidak semena-mena terhadap anaknya[10], namun apa yang didapat, keesokan atau lusanya, dilaporkan terdapat berbagai tindakan sama yang dilakukan anak-anak SD. Inilah yang dimaksud perbedaan efek behavior. Tidak semua berita, misalnya, akan mengalami keberhasilan yang merubah khalayak menjadi lebih baik, namun pula bisa mengakibatkan kegagalan yang berakhir pada tindakan lebih buruk.
    Mengapa terjadi efek yang berbeda? Belajar dari media massa memang tidak bergantung hanya ada unsur stimuli dalam media massa saja. Kita memerlukan teori psikologi yang menjelaskan peristiwa belajar semacam ini. Teori psikolog yang dapat mnejelaskan efek prososial adalah teori belajar sosial dari Bandura. Menurutnya, kita belajar bukan saja dari pengelaman langsung, tetapi dari peniruan atau peneladanan (modeling). Perilaku merupakan hasil faktor-faktor kognitif dan lingkungan. Artinya, kita mampu memiliki keterampila tertentu, bila terdapat jalinan positif antara stimuli yang kita amati dan karakteristik diri kita.
    Bandura menjelaskan proses belajar sosial dalam empat tahapan proses: proses perhatian, proses pengingatan (retention), proses reproduksi motoris, dan proses motivasional.
    Permulaan proses belajar ialah munculnya peristiwa yang dapat diamati secara langsung atau tidak langsung oleh seseorang. Peristiwa ini dapat berupa tindakan tertentu (misalnya menolong orang tenggelam) atau gambaran pola pemikiran, yang disebut Bandura sebagai “abstract modeling” (misalnya sikap, nilai, atau persepsi realitas sosial). Kita mengamati peristiwa tersebut dari orang-orang sekita kita.bila peristiwa itu sudah dianati, terjadilah tahap pertama belajar sosial: perhatian. Kita baru pata mempelajari sesuatu bila kita memperhatikannya. Setiap saat kita menyaksikan berbagai peristiwa yang dapat kita teladani, namun tidak semua peristiwa itu kita perhatikan.
    Perhatian saja tidak cukup menghasilkan efek prososial. Khalayak harus sanggup menyimpan hasil pengamatannya dalam benak benaknya dan memanggilnya kembali ketika mereka akan bertindak sesuai dengan teladan yang diberikan. Untuk mengingat, peristiwa yang diamati harus direkam dalam bentuk imaginal dan verbal. Yang pertama disebut visual imagination, yaitu gambaran mental tentang peristiwa yang kita amati dan menyimpan gambaran itu pada memori kita. Yang kedua menunjukkan representasi dalam bentuk bahasa. Menurut Bandura, agar peristiwa itu dapat diteladani, kita bukan saja harus merekamnya dalam memori, tetapi juga harus membayangkan secara mental bagaimana kita dapat menjalankan tindakan yang kita teladani. Memvisualisasikan diri kita sedang melakukan sesuatu disebut seabagi “rehearsal”.
    Selanjutnya, proses reroduksi artinya menghasilkan kembali perilaku atau tindakan yang kita amati. Tetapi apakah kita betul-betul melaksanakan perilaku teladan itu bergantung pada motivasi? Motivasi bergantung ada peneguhan. Ada tiga macam peneguhan yang mendorong kita bertindak: peneguhan eksternal, peneguhan gantian (vicarious reinforcement), dan peneguhan diri (self reinforcement). Pelajaran bahasa Indonesia yang baik dan benar telah kita simpan dalam memori kita. Kita bermaksud mempraktekkannya dalam percakapan dengan kawan kita. Kita akan melakukan hanya apabila kita mengetahui orang lain tidak akan mencemoohkan kitam atau bila kita yakin orang lain akan menghargai tindakan kita. Ini yang disebut peneguhan eksternal. Jadi, kampanye bahasa Indoensia dalam TVRI dan surat kabar berhasil, bila ada iklim yang mendorong penggunaan bahasa Indoensia yang baik dan benar.

    Suka

  2. Dalam buku “SISTEM KOMUNIKASI INDONESIA” Oleh Prof DR Anwar Arifin, halaman 257, menuliskan tentang Pro Kontra Kebebasan Informasi.
    Revolusi informasi sangat berpengaruh terhadap proses komunikasi, terutama dalam komunikasi international sebagai salah satu dimensi penting dalam komunikasi antar bangsa. Persoalan pokok dalam komunkasi internasional adalah munculnya dominasi negara-negara maju terhadap negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia. sejalan dengan terjadinya ketimpangan arus informasi interntional.

    Arsu komunikasi dan informasi dalam era globalisasi telah lama berlangsung , dan didukung paling kurang oleh tiga hal pening:
    1. Paradigma Freedom Of information atau kebebasan informasi;
    2. kemajuan ilmu dan Teknologi, terutama teknologi informasi
    3. Kemajuan dalam bidang ekonomi dan industri yg berteknologi tinggi

    Suka

  3. Manfaat Penelitian :
    a. Meningkatkan pengetahuan masyarakat akan pemanfaatan internet yang baik
    b. Meningkatkan kesadaran seluruh elemen masyarakat tentang adanya internet yang dapat membantu dalam kehidupan, sekaligus mengingatkan kepada masyarakat mengenai dampak negatif dari adanya internet
    c. Sebagai bahan rujukan dan bahan ajar dalam penelitian selanjutnya

    Suka

Apa Komentar Anda